Page Nav

HIDE

Responsive Ads

Kampus Gagal Menjual: Siapa yang Layak Dipecat, Rektor atau Tim Marketing?

Berita24.com - Dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia yang makin kompetitif, pertanyaan pedas seperti “Siapa yang harus dipecat: rektor...


Berita24.com
- Dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia yang makin kompetitif, pertanyaan pedas seperti “Siapa yang harus dipecat: rektor atau tim marketing?” bukan lagi sekadar lelucon sarkastik. Ia adalah refleksi dari realitas getir di balik kampus-kampus yang sepi pendaftar, jurusan-jurusan kosong, dan dosen yang kebingungan karena tidak punya mahasiswa untuk diajar.

eBook berjudul “Kampus Gagal Menjual: Siapa yang Layak Dipecat, Rektor atau Tim Marketing?” adalah sebuah otopsi brutal terhadap gagalnya strategi penerimaan mahasiswa baru (PMB), promosi kampus, dan kepemimpinan di lingkungan pendidikan tinggi. Ditulis secara tajam dan berdasarkan studi kasus nyata, buku ini wajib dibaca oleh siapa pun yang terlibat dalam manajemen perguruan tinggi — dari rektor hingga staf promosi.

Target PMB Asal Bunyi, Jurusan Dibuka Asal Ada, membuka borok perencanaan yang buruk. Banyak kampus swasta (dan bahkan negeri) menetapkan target PMB secara asal-asalan, tanpa dasar riset pasar, tanpa segmentasi yang jelas. Jurusan dibuka semata-mata demi akreditasi atau gengsi, bukan karena kebutuhan atau minat pasar. Hasilnya? Brosur bertebaran, tapi konversi nihil.

Tak sedikit kampus yang ingin "merangkul semua segmen", tapi akhirnya justru tidak menarik satu pun. Sebuah studi kasus dalam buku ini menceritakan kampus yang berambisi menarget 1.000 mahasiswa baru, tapi hanya mendapat 37 orang.

Marketing yang Sibuk Tapi Tak Efektif, eBook ini menguliti habis tim marketing kampus: penuh gaya, minim hasil. Banyak promosi hanya bersifat seremonial — hadir di pameran pendidikan, bagi-bagi brosur, membuat akun Instagram tanpa strategi konten. Digital marketing hanya sekadar ada, tanpa engagement nyata. Bahkan ketika sudah ada leads, follow-up sering kali lemah atau bahkan tidak dilakukan sama sekali.

Masalahnya bukan pada niat, tapi pada ketidakpahaman tentang cara menjual nilai unik kampus. Kampus tidak tahu siapa targetnya, apa yang dicari Gen Z, dan bagaimana membedakan diri dari ratusan kampus lain yang menawarkan program serupa.

Rektor Visioner Tapi Gagal Eksekusi, menyentil pemimpin tertinggi kampus: rektorat. Banyak rektor berbicara soal “branding”, “inovasi”, dan “digitalisasi”, namun tidak pernah benar-benar paham kondisi lapangan. Visi yang muluk-muluk tidak diikuti dengan strategi operasional yang realistis. Seringkali, rektor justru menjadi penghambat ketika ego, politik internal, dan gengsi lebih diutamakan daripada hasil nyata.

Tim marketing dianggap pelaksana, bukan mitra strategis. Ketika konversi PMB buruk, yang disalahkan selalu tim teknis, bukan visi manajemen yang kabur.

Struktur dan Kultur yang Tidak Sinkron, menggambarkan ketimpangan antara struktur dan kultur organisasi. Di banyak kampus, marketing hanya dianggap pelengkap — tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan besar, tapi dituntut untuk hasil besar. Rektorat meminta target tinggi, tapi enggan mengalokasikan anggaran cukup untuk branding, iklan digital, atau pelatihan SDM promosi.

Lebih parah lagi, konflik antara akademisi dan tim promosi makin meruncing. Dosen merasa marketing terlalu “jualan”, sementara marketing merasa dosen tidak paham pentingnya nilai jual kampus. Di tengah semua itu, tidak ada ruang kolaborasi. Baca Selengkapnya



Ads Place